ASPEK TANGGUNG JAWAB HUKUM RUMAH SAKIT TERHADAP PELAYANAN MEDIS (Jurnal )
ASPEK TANGGUNG JAWAB HUKUM RUMAH SAKIT TERHADAP PELAYANAN MEDIS (Jurnal )
Jurnal
ASPEK TANGGUNG JAWAB HUKUM
RUMAH
SAKIT TERHADAP PELAYANAN MEDIS
ABSTRAK
Penulisan Skripsi ini bertujuan
untuk mengetahui bagaimana tanggung
jawab hukum Rumah
Sakit
terhadap pelayanan paramedis yang tidak
sesuai standar
dan bagaimana tindakan
hukum terhadap rumah sakit
dalam
pelayanan
paramedis yang tidak sesuai standar. Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah menggunakan
metode penelitian yuridis normatif sehingga dapat disimpulkan,
bahwa
:
1. Tanggung jawab
hukum Rumah
Sakit
meliputi tiga
aspek yaitu hukum perdata, hukum
administrasi dan
hukum pidana.
Dari sisi hukum perdata, pertanggungjawaban rumah
sakit terkait dengan hubungan hukum yang timbul
antara pasien
dengan
rumah
sakit dalam pelayanan kesehatan di rumah sakit.Pertanggungjawaban rumah sakit dari aspek hukum administratif berkaitan dengan kewajiban
atau persyaratan administratif yang harus dipenuhi oleh rumah
sakit khususnya untuk mempekerjakan tenaga kesehatan di rumah sakit Pertanggungjawaban
dari
aspek hukum pidana
terjadi jika
kerugian
yang ditimbulkan atas
kelalaian
yang
dilakukan oleh
tenaga medis di rumah
sakit memenuhi tiga unsur.
2. Tindakan Hukum dari segi administratif jika rumah sakit tidak
memenuhi kewajiban
atau persyaratan administratif
tersebut, maka
berdasarkan Pasal 46 UU RS, rumah sakit dapat dijatuhi
sanksi administratif berupa teguran, teguran
tertulis, tidak
diperpanjang izin operasional, dan/atau denda dan
pencabutan izin . Sedangkan dari segi pidana jika kerugian yang ditimbulkan atas kelalaian yang dilakukan oleh tenaga medis
di rumah sakit memenuhi tiga unsur. Ketiga unsur tersebut
adalah adanya
kesalahan dan perbuatan melawan hukum
serta unsur lainya yang tercantum dalam ketentuan pidana yang bersangkutan.
Kata
kunci: Tanggung
jawab hukum, pelayanan medis.
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Kesehatan merupakan hak asasi manusia
dan salah satu
unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan
sesuai dengan
cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam
Pancasila dan
Pembukaan Undang- Undang Dasar Negara
Republik
Indonesia Tahun 1945, oleh karena
itu,
setiap kegiatan dan
upaya
untuk meningkatkan derajat
kesehatan
masyarakat yang setinggi-tingginya dilaksanakan berdasarkan prinsip nondiskriminatif, partisipatif perlindungan dan
berkelanjutan yang sangat penting
artinya bagi
pembentukan sumber daya manusia Indonesia,
peningkatan
ketahanan
dan
daya saing bangsa, serta pembangunan nasional.
Sejalan dengan amanat Pasal 28 H ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah ditegaskan bahwa setiap
orang
berhak
memperoleh pelayanan kesehatan, kemudian dalam Pasal 34 ayat (3) dinyatakan negara bertanggung
jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak. Rumah Sakit sebagai salah
satu fasilitas
pelayanan kesehatan merupakan bagian dari
sumber daya kesehatan yang sangat diperlukan dalam mendukung penyelenggaraan upaya kesehatan. Penyelenggaraan
pelayanan kesehatan di rumah
sakit mempunyai
karakteristik
dan organisasi
yang
sangat kompleks. Berbagai jenis tenaga kesehatan dengan perangkat keilmuannya masing- masing
berinteraksi satu sama
lain. Ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran yang berkembang sangat pesat yang harus diikuti oleh tenaga kesehatan dalam rangka pemberian pelayanan yang bermutu, membuat semakin kompleksnya permasalahan dalam rumah sakit.
Peraturan perundang-undangan yang dijadikan dasar penyelenggaraan Rumah
Sakit saat ini masih pada tingkat Peraturan Menteri yang sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan. Dalam rangka memberikan kepastian
dan perlindungan hukum untuk meningkatkan, mengarahkan dan memberikan
dasar
bagi
pengelolaan Rumah
Sakit diperlukan suatu perangkat hukum yang mengatur Rumah Sakit secara menyeluruh dalam bentuk
Undang-Undang, maka diterbitkanlah Undang-Undang Nomor
44 Tahun
2009 Tentang
Rumah Sakit (UU
RS), undang-undang tersebut merupakan
aturan hukum
yang
baru tentang rumah sakit menggantikan aturan yang lama.
Selanjutnya, pengaturan mengenai hubungan
antara tenaga kesehatan (paramedis),
rumah
sakit dan
pasien tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan, yaitu UU
RS,
UU Kesehatan (yang menggantikan UU Nomor 23
Tahun 1992 tentang Kesehatan), dan
bahkan hal ini bisa terkait dengan Undang- Undang Nomor 8
Tahun
1999 tentang Perlindungan
Konsumen,
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, Undang-Undang
Nomor 11
Tahun 2009 tentang Kesejahteraan
Sosial,namun demikian, akibat begitu banyak peraturan yang terkait dengan hal ini, seringkali justru terjadi benturan antara satu peraturan dengan peraturan yang lain,
yang kemudian mengakibatkan pada tataran implementasi menjadi tidak efektif.
Rumah Sakit sebagai salah satu fasilitas pelayanan kesehatan merupakan bagian dari sumber daya
kesehatan
yang sangat diperlukan
dalam mendukung penyelenggaraan
upaya kesehatan. Penyelenggaraan pelayanan kesehatan di Penjelasan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit,
Bagian I (Umum).
Rumah Sakit mempunyai karakteristik dan
organisasi yang sangat kompleks. Berbagai jenis
tenaga kesehatan dengan perangkat keilmuannya masing-masing berinteraksi satu sama lain. Ilmu pengetahuan dan
teknologi kedokteran
yang berkembang sangat pesat yang harus diikuti oleh tenaga kesehatan
dalam
rangka
pemberian pelayanan
yang bermutu, membuat semakin kompleksnya permasalahan dalam rumah sakit. Pada hakekatnya rumah sakit berfungsi sebagai tempat penyembuhan penyakit
dan
pemulihan
kesehatan dan
fungsi dimaksud memiliki makna tanggung jawab yangmerupakan tanggung jawab pemerintah dalam meningkatkan taraf kesejahteraan masyarakat. Peraturan perundang- undangan yang dijadikan dasar penyelenggaraan rumah
sakit yaitu UU No.44
Tahun
2009
tentang
Rumah Sakit.
Keberadaan undang-undang ini dimaksudkan untuk memberikan kepastian dan perlindungan hukum untuk meningkatkan, mengarahkan dan
memberikan dasar bagi pengelolaan rumah sakit.
Di sisi lain, tenaga kesehatan (terutama paramedis) sebagai
salah satu komponen utama
pemberi
pelayanan kesehatan kepada masyarakat
mempunyai
peranan yang sangat
penting karena terkait langsung dengan pemberian pelayanan kesehatan dan mutu pelayanan yang diberikan, pada dasarnya
landasan utama bagi paramedis untuk dapat
melakukan tindakan
medik terhadap
orang lain ialah
ilmu pengetahuan,
teknologi, dan kompetensi yang dimiliki, yang diperoleh melalui
pendidikan
dan pelatihan.
Pengetahuan yang
dimilikinya harus terus menerus
dipertahankan dan ditingkatkan sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi itu sendiri.
Tenaga kesehatan (terutama paramedis) dengan
perangkat keilmuan yang dimilikinya mempunyai
karakteristik
yang khas. Kekhasannya ini terlihat
dari pembenaran
yang
diberikan
oleh hukum yaitu diperkenankannya
melakukan tindakanmedis terhadap tubuh manusia dalam
upaya
memelihara
dan
meningkatkan derajat kesehatan. Tindakan medis terhadap
tubuh
manusia yang dilakukan bukan
tenaga
kesehatan
dapat digolongkan sebagai tindak pidana.
Berkurangnya
kepercayaan
masyarakat terhadap tenaga kesehatan (khususnya
paramedis), maraknya tuntutan hukum yang diajukan
masyarakat dewasa ini seringkali diidentikkan dengan
kegagalan upaya penyembuhan serta pelayanan yang tidak sesuai dengan standar dan prosedur. Di sisi lain,
kurangnya pemahaman komunitas
medik (dokter,
perawat, dan
rumah
sakit)
seputar aspek-aspek hukum profesi mereka juga merupakan penyebab timbulnya sengketa
medik.
Hal ini dapat dicegah
jika
komunitas medik (dan juga masyarakat) memahami batasan
hak dan
tanggung jawab masing-masing ketika memberikan atau mendapatkan
layana
kesehatan.
B.
Perumusan Masalah
1. Bagaimana Tanggung Jawab Hukum Rumah Sakit
terhadap pelayanan paramedis yang tidak sesuai standar?
2. Bagaimana Tindakan Hukum
terhadap rumah
sakit dalam
pelayanan paramedis yang tidak sesuai standar?
C. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitianhukum
normatif (yuridis normatif) dengan
mendasarkan
pada
sumber data sekunder yang terdiri dari bahan
hukum
primer, sekunder dan
tersier
Mas
Isharyanto, Sekelumit Tentang Hubungan Hukum
Pasien,
Rumah
Sakit, dan
Tenaga Medik,
Diakses dari http://hukum.kompasiana.com/2013/04/06/sekelu mit-tentang-hubungan-hukum-pasien-rumah-sakit- dan-tenaga-medik-548668.html, pada tanggal 29 April
2013.
PEMBAHASAN
A. Aspek Yuridis Tanggung
Jawab Rumah
Sakit Terhadap Pelayanan Medis
Secara hukum
tanggung
jawab
rumah sakit terhadap pelayanan
paramedis kepada pasien
dapat dibagi dalam tanggung jawab pidana dan tanggung jawab perdata berupa pemberian sanksi pidana dan denda antara lain:
1. Berdasarkan UU Kesehatan.
Berdasarkan UU Kesehatan dalam BAB XX (bab dua puluh) tentang Ketentuan Pidana,
pada
Pasal
190 Ayat
(1) yaitu “pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan
yang melakukan praktik atau pekerjaan pada
fasilitas pelayanan kesehatan
yang dengan sengaja
tidak memberikan pertolongan pertama terhadap
pasien yang dalam keadaan
gawat darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32
Ayat (2) atau Pasal 85Ayat (2) dipidana
dengan pidana penjara
paling lama
2 (dua)
tahun
dan denda paling
banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah),
kemudian
dalam Ayat (2) menyatakan dalam
hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) mengakibatkan
terjadinya kecacatan atau kematian, pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau
tenaga kesehatan tersebut
dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling
banyak Rp1.000.000.000,00 (satu
miliar rupiah), dimana Pasal 32 Ayat (2) menegaskan bahwa “dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun
swasta dilarang
menolak
pasien dan/atau meminta uang muka”.
Kemudian
Pasal
85 Ayat (2) menegaskan bahwa “fasilitas pelayanan kesehatan dalam
memberikan pelayanan
kesehatan
pada bencana sebagaimana dimaksud pada Ayat
(1) dilarang
menolak pasien dan/atau
meminta uang
muka terlebih dahulu”.
Pemberatan dari
pasal
tersebut, terdapat dalam Pasal 201 Ayat (1) yang menyatakan bahwa “dalam hal
tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 190 Ayat (1) dilakukan oleh korporasi, selain pidana penjara dan denda
terhadap pengurusnya, pidana
yang dapat
dijatuhkan terhadap korporasi tersebut berupa pidana denda
dengan pemberatan
tiga (3) kali dari pidana denda
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 190 Ayat
(1). Kemudian pada Ayat (2) menyatakan bahwa “selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada Ayat (1), korporasi tersebut dapat dijatuhi pidana
tambahan berupa pencabutan
izin usaha, dan/atau pencabutan status badan hukum.
2. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 25
Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik
(UU No.20/2009).
Pelayanan kesehatan sebagai bagian dari pelayanan publik,
sebagaimana ditegaskan
dalam Pasal 5
Ayat (1) menyatakan
bahwa “ruang lingkup
pelayanan publik meliputi pelayanan barang publik dan jasa publik serta pelayanan
administratif yang
diatur dalam perundang-undangan, selanjutnya pada Ayat (2) menyatakan bahwa “ruang lingkup sebagaimana dimaksud pada
Ayat
(1) meliputi juga pelayanan kesehatan
disamping pelayanan lainnya”.
Berdasarkan ketentuan
tersebut, maka
penyelenggara
pelayanan
publik (dibidang
kesehatan) dalam
hal ini
rumah sakit, wajib bertanggung
jawab atas
pelanggaran pelayanan paramedis yang tidak sesuai standar dan prosedur yang terjadi di dalam rumah
sakit tersebut.
Rumah sakit tersebut
dapat dikenakan sanksi yang diatur dalam BAB VIII (bab delapan) mengenai Ketentuan Sanksi, dimana Pasal
54 dengan pemberian sanksi berupa teguran tertulis, pembebasan dari jabatan, penurunan gaji sebesar satu kali
kenaikan gaji berkala untuk paling lama
1 (satu) tahun, penurunan pangkat pada
pangkat yang setingkat lebih rendah untuk paling lama 1
(satu) tahun, pembebasan dari jabatan, pemberhentian dengan hormat
tidak atas permintaan sendiri, pemberhentian tidak dengan
hormat, pembekuan misi dan/atau izin yang diterbitkan
oleh instansi pemerintah,
serta pencabutan izin yang diterbitkan
oleh instansi pemerintah.
Kemudian dalam Pasal 55
ditegaskan bahwa
“penyelenggara atau
pelaksana
yang tidak melakukan
kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1), Pasal 28 ayat (1) dan
ayat (4), Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2) dan atas perbuatan tersebut
mengakibatkan
timbulnya luka, cacat tetap, atau hilangnya nyawa bagi pihak lain dikenai sanksi pidana sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Pengenaan
sanksi
pidana
sebagaimana dimaksud
tidak membebaskan dirinya membayar ganti rugi bagi korban.
Besaran
ganti rugi bagi korban ditetapkan
berdasarkan putusan pengadilan.
Kemudian
dalam
Pasal
56 menyatakan
bahwa “penyelenggara
atau pelaksana yang tidak melakukan
kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1), Pasal 28 ayat (1) dan ayat (4), dan
atas perbuatan tersebut mengakibatkan kerugian negara dikenai denda. Besaran denda
ditetapkan berdasarkan putusan
pengadilan. Berdasarkan
Pasal 57,
sanksi bagi penyelenggara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54, Pasal 55, dan Pasal 56 dikenakan kepada pimpinan
penyelenggara.
Pengenaan
sanksi sebagaimana dimaksud dilakukan oleh atasan penyelenggara yang bertanggung jawab
atas kegiatan
pelayanan publik sesuai dengan
peraturan perundang- undangan.
Pelanggaran yang dilakukan
oleh penyelenggara sebagaimana diatur dalam Pasal
40 ayat (3)
yang menimbulkan kerugian wajib dibayar oleh
penyelenggara setelah
dibuktikan nilai kerugiannya
sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Kemudian dalam Pasal 58 menentukan bahwa
“pimpinan penyelenggara dan/atau pelaksana yang dikenai sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54, Pasal 55, dan Pasal 56 dapat dilanjutkan
pemrosesan
perkara
ke lembaga peradilan umum apabila penyelenggara melakukan
perbuatan melawan hukum dan/atau penyelenggara melakukan tindak pidana.
3. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1999
Tentang
Perlindungan
Konsumen (UU PK).
Akibat
dari adanya suatu hubungan hukum antara konsumen dengan pelaku usaha
akan timbul
hak dan kewajiban tertentu antara satu dengan yang lainnya.
Hak dan
kewajiban
mereka
di atur
dalam UU
PK. Pelaku usaha
memikul kewajiban
yang
melahirkan hak, demikian juga sebaliknya pada konsumen
memiliki hak-hak
yang
lahir dari kewajiban yang dipikulnya, sehingga hak dan
kewajiban
konsumen dengan pelaku usaha timbul dari hubungan timbal balik di antara
mereka, namun dalam hubungan interaksi konsumen dengan pelaku
usaha tidak
selamanya berjalan dengan
baik, sebagai contoh dalam hubungan timbal balik antara pasien
sebagai konsumen
dan rumah sakit sebagai pelaku
usaha, sering kali pasien
yang
menjalani
pengobatan
di rumah sakit justru mengalami kerugian dengan tidak
mendapat
kesembuhan disebabkan pihak
rumah
sakit tidak tepat atau
melakukan
kelalaian
dalam menangani pasien dan penyakitnya atau sering disebut
dengan istilah malpraktik.
Berdasarkan hal tersebut, hubungan hukum antara pasien dan rumah sakit ialah
perjanjian perawatan,
yaitu kesepakatan antara rumah sakit dan pasien bahwa pihak rumah sakit menyediakan kamar perawatan dan adanya
tenaga perawat
yang
akan melakukan tindakan
perawatan, serta perjanjian
pelayanan medis,
yaitu kesepakatan antara rumah sakit dan pasien bahwa tenaga medis pada rumah sakit akan berupaya secara maksimal
untuk menyembuhkan pasien melalui tindakan medis
(inspanningsverbintenis), dengan adanya Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
756/MENKES/SK/VI/2004 tentang Persiapan Liberalisasi Perdagangan dan Jasa di Bidang
Kesehatan,
berarti
UU
PK
juga dapat diberlakukan pada bidang kesehatan.
Berdasarkan hal tersebut,
maka sanksi yang
dapat
diberikan
berdasarkan UU PK kepada
rumah
sakit akibat kelalaian pelayanan paramedisnya yaitu diatur dalam Pasal 61 sampai Pasal 63, di mana Pasal 61 menentukan bahwa
“penuntutan pidana dapat
dilakukan terhadap
pelaku usaha dan/atau
pengurusnya. Kemudian
dalam Pasal 62 menegaskan bahwa pelaku usaha yang melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c,huruf e, ayat (2) dan Pasal 18 dipidana dengan pidana
penjara paling lama
5
(lima)
tahun
atau
pidana denda paling
banyak Rpn2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah). akan
tetapi justru kondisinya semakin memburuk, sementara pihak
rumah sakit sama sekali tidak memberikan ganti kerugian terhadap
pasien dan bahkan pasien tetap harus membayar biaya pengobatan
yang
justru
membuat keadaannya semakin parah, hal tersebut
Narrys N. R, Tanggung Jawab Hukum Rumah Sakit
Terhadap Kasus Malpraktik Berdasarkan Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, Skripsi,
Fakultas
Hukum UNLA, 2011,
Diakses dari http://repository.fhunla.ac.id/?q=node/202, pada tanggal 29 April 2013.
Pelaku usaha
yang
melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud
dalam Pasal 11, Pasal 12,
Pasal 13 ayat (1), Pasal 14, Pasal
16, dan Pasal 17 ayat
(1) huruf d dan huruf f dipidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau
pidana denda paling banyak Rp
500.000.000,00 (lima
ratus juta rupiah). Terhadap pelanggaran yang mengakibatkan luka
berat, sakit
berat, cacat
tetap
atau kematian
diberlakukan
ketentuan pidana yang berlaku.
Terhadap
sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62, dapat dijatuhkan hukuman tambahan, berupa:
a. Perampasan barang tertentu.
b. Pengumuman keputusan hakim. c. Pembayaran ganti rugi.
d. Perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian konsumen.
e. Kewajiban penarikan barang dari peredaran, atau
f.
Pencabutan izin usaha.
Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut di atas, dasar pembenaran rumah sakit bertanggungjawab terhadap kerugian yang diakibatkan dari kelalaian tenaga kesehatan
di rumah
sakit,
yaitu dengan adanya doktrin respondeat superior, doktrin rumah sakit bertanggungjawab terhadap kualitas perawatan (duty
to care),
dan
doktrin vicarious liability, hospital liability, corporate liability.
B. Tindakan Hukum Rumah Sakit Terhadap
Pelayanan Paramedis
Yang Tidak Sesuai Standar (Kelalaian Paramedis)
Pertanggungjawaban rumah sakit
dari aspek
hukum administratif berkaitan dengan kewajiban atau
persyaratan administratif
yang harus dipenuhi oleh rumah sakit khususnya
untuk mempekerjakan tenaga kesehatan di rumah sakit. UU
No 36 Tahun
2009 tentang Kesehatan (UU Kesehatan)
yang menentukan
antara lain kewajiban untuk memiliki kualifikasi minimum dan memiliki
izin dari pemerintah untuk menyelenggarakan pelayanan
kesehatan. Selain itu UU
Kesehatan menentukan bahwa tenaga kesehatan harus memenuhi kode etik,
standar profesi, hak
pengguna pelayanan
kesehatan, standar
pelayanan dan standar prosedur operasional. Jika rumah sakit tidak memenuhi kewajiban atau persyaratan administratif tersebut, maka berdasarkan Pasal 46 UU RS, rumah sakit dapat
dijatuhi sanksi administratif berupa teguran, teguran tertulis, tidak diperpanjang izin operasional, dan/atau denda dan pencabutan izin.
Pertanggungjawaban dari aspek hukum pidana terjadi
jika
kerugian
yang ditimbulkan atas
kelalaian
yang
dilakukan oleh
tenaga medis di rumah
sakit
memenuhi tiga unsur.
Ketiga unsur tersebut
adalah adanya kesalahan dan
perbuatan melawan
hukum serta unsur lainya
yang
tercantum dalam ketentuan pidana
yang
bersangkutan. Perlu dikemukakan bahwa dalam sistem hukum pidana kita, dalam hal tindak
pidana dilakukan oleh
korporasi, maka pengurusnya dapat
dikenakan
pidana penjara dan denda, untuk korporasi, dapat dijatuhi pidana denda dengan pemberatan.
Berdasarkan hukum perdata dibedakan antara kerugian yang
dapat
dituntut berdasarkan
wanprestasi dengan yang
berdasarkan perbuatan melawan hukum. Kerugian yang dapat dituntut atas
dasar
wanprestasi
menurut Adami Chazawi (Malpraktek Kedokteran
2007:69),
”hanyalah kerugian materiil atau kerugian
kekayaan/kebendaan
(vermogenschade) atau kerugian yang dapat dinilai
dengan uang. Sementara itu kerugian yang dapat dituntut dengan alasan perbuatan melawan hukum selain kerugian kebendaan juga kerugian idiil (immaterial) yang tidak bersifat kebendaan,
namun dapat diperkirakan nilai kebendaannya berdasarkan kelayakan.” Pasal 46 Undang-
undang tentang Rumah Sakit menyatakan Rumah Sakit bertanggung jawab atas
“semua kerugian” artinya rumah sakit menanggung kerugian materiil maupun immaterial. Selanjutnya, UU RS
hanya mensyaratkan
bahwa kerugian
itu “ditimbulkan atas kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan di Rumah Sakit. Hal ini berarti, UU RS mensyaratkan adanya hubungan kausal
antara kerugian dengan kelalaian tenaga kesehatan di rumah sakit .
Hubungan kausal
dalam
hukum perdata digunakan untuk menentukan
adanya kerugian sebagai
dasar
untuk menuntut ganti
kerugian
kepada pihak yang bertanggung
jawab,
dalam
hukum
pidana
hubungan kausal
tersebut
sebagai syaratnbagi terjadinya tindak pidana.
Kasus-kasus
sebelumnya yang juga menyita perhatian masyarakat luas seperti dugaan
kesalaha dari interpretasi pemeriksaan
darah,
yang
mengakibatkan pasien
harus dicuci
darah, kasus tertukarnya bayi di sebuah RS di Magelang dan
tindakan kekerasan
petugas administrasi RS besar di Surabaya terhadap pengantar
pasien yang
melontarkan keluhan.
Adanya sifat
yang
sangat khas pada layanan
kesehatan yaitu adanya asimetri informasi
dimana informasi yang dimiliki oleh provider baik dari
RS
atau dokter tidak seimbang dengan yang dimiliki oleh
pasien.
Suatu hal
yang
sering membuka kemungkinan kesalahpahaman. Selain itu kondisi masyarakat yang semakin cerdas dan
semakin terbukanya
informasi di
berbagai
media
tampaknya juga mempunyai andil pada terangkatnya kasus- kasus tersebut. Berdasarkan data masyarakat yang mengadukan dokter
ke Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia
(MKDKI)
tercatat semakin meningkat.
Bercermin dari
kasus-kasus di atas, maka tuntutan/gugatan/pelaporan
kepada polisi akibat
kasus yang
terjadi di
RS
adalah dengan
menginisiasi mutu pada lembaga pelayanan kesehatan. Tentu saja termasuk mutu
tenaga medis
dan paramedis
yang juga menjadi
tanggung
jawab
organisasi profesi. Pelatihan tentang pelayanan prima atau service excellent dari tingkat top manajemen sampai
dengan
level terdepan yaitu
office
boy, kasir,
bagian loket serta bagian informasi, maupun paramedis tanpa kecuali, walaupun
dapat
dipahami bahwa adanya keterbatasan manusia memprediksi secara akurat apa yang terjadi. Paramedis juga seorang
manusia yang
bersifat ephemeral (terbatas jangkauan pandangan dan pemikiran serta akalnya, namun sejatinya esensi dari mutu adalah sebuah ‘upaya
pencegahan’ ke
arah yang buruk. Untuk mengantisipasi bila suatu kasus muncul
maka penyusunan
standard
operating procedure (SOP) menjadi sebuah keniscayaan. Dan hal inilah kelemahan yang sangat mendasar pada layanan kesehatan kita. SOP pada layanan kesehatan seringkali tidak/belum
ada. Atau
bila
SOP
mungkin ada,
namun kepatuhan
petugas terhadapnya juga kadang-kadang masih harus dipertanyakan.
Di sinilah
peranan manajemen sebuah
organisasi layanan kesehatan mendapatkan tempatnya. Dalam hal ini Sistem Manajemen Mutu (SMM) bisa
jadi menjadi sangat penting bukan sekedar pada ketersediaan dokter
saja atau
alat yang
lengkap
saja namun
adalah
sebagai gabungan
sistem
manajemen
yang mengatur semua
sumber daya yang ada
untuk memberikan pelayanan yang terbaik kepada pasien termasuk
ketersediaan, kelengkapan
dan kepatuhan
terhadap
Prosedur yang ada. Untuk
menurunkan angka-angka
M. Yahya Harahap,
Pembahasan
Permasalahan
dan Penerapa KUHAP, Edisi Kedua, Penerbit Sinar
JAMSOS Indonesia, Wawasan Hukum Jaminan Sosial dan Kesehatan, Diakses dari http://www.jamsosindonesia.com/cetak/printout/85. Grafika,
Jakarta, 2012,
hlm
12.
Tri Astuti Sugiyatmi, Kasus Medis vs Mutu Layanan
Kesehatan,
Diakses
dari http://www.kpmak- ugm.org/2012-05-12-04-54-35/2012-05-12-05-03-
A. Kesimpulan
PENUTUP
1. Rumah sakit
sebagai subyek
hukum. Berarti,
rumah sakit
dapat
melakukan hubungan
hukum
dengan subyek hukum lainnya dalam melaksanakan pelayanan kesehatan. Karena itu rumah sakit wajib
menanggung segala konsekuensi hukum yang timbul sebagai akibat dari perbuatannya atau perbuatan orang lain yang berada dalam
tanggung
jawabnya. Tanggung jawab hukum tersebut meliputi tiga aspek
yaitu hukum perdata, hukum
administrasi dan hukum pidana. Dari sisi
hukum perdata, pertanggungjawaban rumah
sakit terkait dengan
hubungan hukum yang
timbul
antara pasien dengan
rumah
sakit dalam pelayanan kesehatan di rumah sakit.Pertanggungjawaban
rumah
sakit dari aspek
hukum administratif berkaitan dengan kewajiban
atau
persyaratan administratif yang harus dipenuhi oleh rumah sakit
khususnya untuk
mempekerjakan tenaga kesehatan di rumah sakit Pertanggungjawaban dari aspek hukum pidana
terjadi jika kerugian yang ditimbulkan atas kelalaian yang dilakukan oleh tenaga medis di rumah sakit memenuhi tiga unsur. Ketiga unsur tersebut
adalah adanya kesalahan dan
perbuatan melawan hukum serta unsur lainya yang tercantum dalam ketentuan pidana yang bersangkutan.
2. Tindakan Hukum dari segi administratif jika rumah sakit tidak memenuhi kewajiban atau persyaratan administratif
tersebut, maka berdasarkan Pasal 46
UU
RS,
rumah sakit dapat dijatuhi sanksi administratif berupa teguran, teguran tertulis, tidak diperpanjang izin operasional, dan/atau
denda dan pencabutan izin . Sedangkan dari segi pidana jika kerugian yang ditimbulkan atas kelalaian yang
dilakukan oleh tenaga medis di rumah sakit memenuhi tiga unsur. Ketiga unsur tersebut
adalah adanya kesalahan dan
perbuatan melawan hukum serta unsur lainya yang tercantum dalam ketentuan pidana
yang
bersangkutan. Perlu dikemukakan
bahwa dalam
sistem hukum pidana kita,
dalam hal
tindak pidana dilakukan oleh korporasi, maka pengurusnya
dapat
dikenakan pidana penjara
dan denda,
untuk korporasi, dapat
dijatuhi pidana
denda
dengan pemberatan.
Dari
segi
Perdata dibedakan antara
kerugian yang dapat dituntut berdasarkan wanprestasi dengan yang berdasarkan perbuatan melawan hukum.
B. Saran
1. Sebaiknya pemerintah harus segera menetapkan peraturan pelaksanaan UU Rumah Sakit dan
UU
Kesehatan serta standar-standar
pelayanan untuk memberikan perlindungan
kepada pasien, tenaga
kesehatan (paramedis) dan rumah sakit.
2.
Kiranya
pemerintah lebih
tegas
dalam
menerapkan sanksi hukum bagi rumah sakit yang
terbukti lalai
dalam pelayanan kesehatan paramedis
yang tidak sesuai dengan prosedur.
DAFTAR PUSTAKA
Amirudin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004.
Bachrul Amiq, Aspek Hukum Pengawasan Pengelolaan Keuangan Daerah, Laksbang Pressindo, Yogyakarta, 2010.
Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2011.
Burhan Ashofa, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2001.
Johny Ibrahim, Teori dan
Metodelogi Penelitian Hukum Normatif,
Cet. IV,
Banyumedia, Malang, 2008.
Lilik Mulyadi, Seraut Wajah Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana Indonesia, Penerbit PT Citra Aditya Bakti, Bandung,
2010.
M. Yahya
Harahap,
Pembahasan Permasalahan dan Penerapan
KUHAP, Edisi Kedua, Penerbit Sinar
Grafika, Jakarta, 2012.
Moris L. Cohen,
Sinopsis
Penelitian Ilmu Hukum, Cet.1, PT Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 1995.
Oemar Seno Adji, Etika professional
dan Hukum
Pertanggungjawaban Pidana Dokter Profesi Dokter, Penerbit Erlangga, Jakarta, 1991.
Soerjono
Soekanto, Pengantar
Penelitian
Hukum Cet ke-3, UI Press, Jakarta, 1986.
dan Herkutarto, Pengantar Hukum
Kesehatan,
Penerbit Remaja Karya, Bandung, 1987.
dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004.
Sofwan Dahlan, Hukum Kesehatan Rambu-
Rambu
bagi
Profesi Dokter, Semarang, Penerbit
Universitas Diponegoro, Semarang, 2003.
Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif,
Penerbit CV. Alvabeta, Bandung, 2005. Winarno Surakhmat, Pengantar Penelitian
Ilmiah, Transito, Yogyakarta, 1982.
Suhardy Hetharia,
Aspek Tanggung Jawab Hukum
Rumahsakit Terhadap Pelayanan Medis
Peraturan Perundang-undangan :
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
Tentang Perlindungan Konsumen.
Undang-Undang Nomor 25 Tahun
2009
Tentang Pelayanan Publik.
Undang-Undang Nomor 36 Tahun
2009
Tentang Kesehatan.
Undang-Undang Nomor 44 Tahun
2009
Tentang Rumah Sakit.
KITA HANYA IKUT MEMPUBLIKASIKAN JURNAL INI TIDAK ADA
CAMPUR TANGAN DENGAN PEMBUAT JURNAL INI
Komentar
Posting Komentar